Tuesday, May 28, 2013

Spoon Feed.......with answere

Patience is the solution to success, and we can not expect to be spoon-fed always with answers. Its both detrimental, should be avoided and not healthy for our youth/ young generation in coming decades ! Lets find the truth ourselves- being into research, science and technology- We/ You should ask yourself- How, why, when, where, whether, what and find the answers by SELF-too ! Hope the message was conveyed in best possible manner and helps us/ you ! Thanks.

Tuesday, May 21, 2013

REVIEW PROSES PEMBENTUKAN AKAR ADVENTIF


REVIEW
PROSES PEMBENTUKAN AKAR ADVENTIF :   KONSEP DAN KEMUNGKINAN BARU
GEERT-JAN DE KLERK, 1WIM VAN DER KRIEKEN, JOKE C.  DE JONG

Pusat Penelitian Kultur Jaringan, PO Box 85, 2160 AB Lisse, The Netherland (G, -J. d. K.); Pusat Penelitian Agro Biologi dan Kesuburan Tanah (AB-DLO), PO Box 14, 6700 AA Wageningen, The Netherland (W. v. d. K., J. C. d. J.)

(Diterima 26 Juni 1998; disetujui 27 Oktober 1998; Editor T.A. Thorpe)


Diterjemahkan oleh :

Freddy Pangaribuan, SP
NIK 507890
dari Judul asli :
The Formation of Adventitious Root: New concepts, New Possibilities
GEERT-JAN DE KLERK, 1WIM VAN DER KRIEKEN, JOKE C.  DE JONG


TREE IMPROVEMENT
Plant Tissue Culture Laboratory Unit
PT Wirakarya Sakti-Sinarmas Forestry
Jambi Region
2013
Abstrak
                Perkembanga signifikan telah terjadi dalam pemahaman tentang pembentukan akar adventif menggunakan studi fisiologis.  Secara umum telah diketahui bahwa pembentukan akar merupakan suatu proses yang terdiri dari fase-fase yang jelas, yang masing masing memiliki kebutuhan khusus.  Pada review ini, proses yang berkelanjutan dalam pembentukan akar diuraikan dan kemungkinan fungsi senyawa yang berhubungan dengan pembentukan luka, auxin, etilen dan senyawa fenol dalam fase yang spesifik tersebut akan didiskusikan.  Penemuan terkini yang dihasilkan akan bermanfaat dalam membantu pengembangan perlakuan untuk pembentukan akar yang lebih maju.  Studi molekuler pada proses pembentukan akar sedang dilaksanakan dan akan sangat penting dalam mengungkapkan mekanisme yang mendasari pembentukan akar adventif.
Kata kunci : pembentukan akar adventif; auksin; siklus aktivasi sel; etilen, faktor non auksin, fenolik, fase perakaran, senyawa yang berhubungan dengan luka

















PENDAHULUAN
                Dalam hortikultur, pertanian, dan kehutanan, perbanyakan vegetatif digunakan secara luas untuk memperbanyak tanaman elit yang diperoleh dari program pemuliaan atau berasal dari seleksi dari populasi di alam (Hartmann et al., 1990).   Negara Belanda yang merupakan salah satu produsen tanaman induk yang besar, menghasilkan 6 milliar tanaman setiap tahun yang dihasilkan melalui cutting setiap tahun dengan nilai  500 Juta USD. 
                Pembentukan akar adventif merupakan merupakan satu langkah kunci dalam perbanyakan vegetatif.  Kerugian terjadi karena sering cutting tidak menghasilkan akar (sebuah estimasi  menunjukkan di angka 25% untuk tanaman di nursery dan 5% pada tanaman hias terjadi di Belanda).  Kerugian tambahan terjadi akibat rendahnya kualitas sistem perakaran dari tanaman, yang dapat disebabkan oleh auksin yang digunakan dalam perlakuan.  Lebih jauh lagi, akibat perakaran yang lambat dan kurang baik, penggunaan fungisida dan bakterisida menjadi sering dibutuhkan untuk melindungi cutting dari serangan jamur dan bakteri.  Adalah sulit untuk melakukan estimasi kerugian yang diakibatkan oleh kekurangan dalam proses pembentukan akar, akan tetapi estimasi kasar mungkin menunjukkan angka 50 Juta USD pertahun untuk Belanda.
                Oleh karena kepentingan ekonomi, para peneliti telah berusaha mengembangkan metode perlakuan rooting yang baru.  Secara spesifik, pengaruh dari semua jenis  zat pengatur tumbuh (ZPT) telah dipelajari (Haissig dan Davies, 1994).  Selain dari upaya-upaya tersebut, dalam operasional  komersil  perlakuan rooting baru belum muncul (Hartman et al., 1990):  cutting masih dirooting dengan pencelupan beberapa detik ke dalam larutan auksin berkonsentrasi tinggi atau pencelupan kedalam rooting powder (auksin dengan talk sebagai carrier).  Kedua metode tersebut berasal dari sepuluh tahun yang lalu setelah penemuan auksin.  Dalam perbanyakan vegetatif, perbaikan telah dilakukan, akan tetapi mereka lebih memberikan penekanan kepada tanaman induk dan penyesuaian rumah kaca dan kondisi tanah setelah penanaman (Hartmann et al, 1990).  Akhir-akhir ini, perkembangan yang nyata telah terjadi pada penelitian rooting. 
1.       Para peneliti mengetahui bahwa rooting bukanlah satu proses tunggal melainkan suatu proses perkembangan yang terdiri dari langkah-langkah yang berbeda, yang masing-masing memiliki syarat atau kebutuhan  tertentu  (Kevers et al., 1997).
2.       Banyak studi dasar tentang rooting sedang dilaksanakan secara in vitro.  Hal ini memiliki beberapa keuntungan: kondisi kultur jaringan dapat memfasilitasi pelaksanaan perlakuan auksin dan senyawa lain, menghindari degradasi oleh mikroba dari senyawa yang diaplikasikan, dan memperbolehkan penambahan nutrisi an organik dan karbohidrat (sehingga penyebab sekunder dari pembentukan akar yang lemah, seperti kapasitas fotosisintesis yang rendah dari cutting dapat dicegah) dan memungkinkan percobaan dengan eksplan yang kecil dan sederhana, seperti irisan batang (Van der Krieken et al., 1993).
3.       Metode molekuler sekarang telah diaplikasikan dalam studi tentang rooting.  Walaupun masih sedikit hasil yang diperoleh, akan tetapi studi tersebut sangat penting untuk mengungkapkan mekanisme dasar yang melatar belakangi proses pembentukan akar adventif.
4.       Memahami mekanisme  proses lain yang sangat cepat berkembang, yang terutama sangat nyata adalah dua proses regenerasi yaitu embriogenesis dan pembentukan nodul.  Kemungkinan, mekanisme serupa terjadi dalam rooting (De Klerk et al., 1997b).  Dalam review ini, kita akan menekankan studi fisiologis dan, dalam jangkauan lebih, yaitu dari segi molekuler.

FUNGSI UTAMA AUKSIN
                Sejarah awal auksin sebagai zat  perangsang akar telah laporkan oleh Van der Lek (1941) dan Haissig dan Davis (1994).  Segera setelah penemuan indole-3-acetic acid (IAA), aktivitas perangsangan akarnya telah dilaporkan (Thimann dan Went, 1934).  Pada awalnya, peneliti beranggapan bahwa auksin hanya dapat diaplikasikan dalam metode yang semi alami, viz. melalui transpor basipetal.  Aplikasi praktis dari auksin untuk perakaran dari cutting menjadi mungkin ketika ditemukan bahwa auksin juga dapat malaksanakan fungsinya ketika ditambahkan melalui permukaan cutting, i.e., melalui bekas potongan bagian bawah (Hitchcock dan Zimmerman, 1936).  Dalam periode yang sama, indole-3-butyric acid (IBA) dan -napthalene acetic acid (NAA) telah disintesa secara kimiawi, dan kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan akar ditemukan (Zimmermann  dan Wilcoxon, 1935), dan tepung talk diperkenalkan sebagai carrier untuk auksin (Grace, 1937).  Di Belanda, perusahaan yang pertama memproduksi rooting powder, Rhizopon, didirikan tahun 1939.
                Pada banyak species, aplikasi auksin eksogen dibutuhkan untuk menghasilkan akar (Diaz-Sala et al.,  1996; Blazkova et al., 1997).  Beberapa tumbuhan menghasilkan akar secara spontan,  tetapi, dalam tumbuhan tersebut, auksin endogen dihasilkan pada pucuk dan ditransportasikan secara basipetal ke bekas potongan yang berperan sebagai pemicu : penghilangan pucuk mengurangi tingkat auksin endogen pada bagian bawah cutting dan jumlah akar yang dihasilkan (Nordstrom dan Eliason, 1991).  Lebih jauh lagi, pada tumbuhan tersebut, aplikasi auksin secara nyata meningkatkan jumlah akar (Nordstrom et al., 1991; Liu dan Reid, 1992a).
                IBA adalah yang paling umum digunakan untuk rooting dalam skala komersial (IBA mencakup lebih kurang 85% dari jumlah auksin yang dijual oleh Perusahaan Rhizopon, K. Eigenraam, pers. Com.).  Jenis auksin lain yang digunakan secara komersial adalah IAA dan NAA.  Banyak senyawa analog yang telah disintesa dan diteliti untuk sifat seperti auksin (Jonsson, 1961), akan tetapi tidak ada diantaranya yang telah digunakan dalam skala besar untuk rooting.  Pengamatan perbedaan aktivitas dalam efektivitas antara beragam auksin bisa jadi terletak pada senyawanya (daya tarik/affinitas terhadap reseptor auksin yang terlibat dalam rooting, cf.  Libbenga dan Mennes, 1995) atau pada konsentrasi dari auksin bebas yang dapat menjangkau sel ‘target’.  Yang kedua ini tergantung pada beberapa faktor : penyerapan, tranportasi, dan konversi dari senyawa yang ditambahkan, dan jumlah auksin yang disintesa oleh tumbuhan itu sendiri.
                Auksin dapat diaplikasikan untuk beberapa hari atau minggu pada konsentrasi yang rendah (micro molar range) (Hartmann et al., 1990).  Pencelepun dalam waktu yang singkat diaplikasikan dalam makro propagasi, dimana cutting dirangsang pertumbuhan akarnya dengan mencelupkannya pada larutan auksin pekat atau pada rooting powder dengan talk base.  Sepertinya, auksin dilepas dengan cepat dari tepung talk akan tetapi hal ini belum pernah diteliti.  Cutting yang dihasilkan dalam kultur jaringan (mikro cutting) juga dapat diberi perlakuan singkat dengan auksin, dan kemudian ditanam ex vitro.  Ketika mikro cutting masih sangat kecil, adalah lebih disenangi untuk me-rootingnya secara in vitro dalam konsentrasi auksin yang rendah dan menanamnya dalam tanah ketika akar telah terbentuk: selama rooting in vitro, ukuran mikro cutting semakin besar dan kuat.
                Auksin masuk kedalam cutting melalui permukaan luka potong (Kenney et al., 1969), bahkan dalam mikro cutting yang diketahui memiliki fungsi epidermis yang kurang (Guan dan De Klerk, submitted).  Auksin secara cepat masuk kedalam sel melalui  perangkap pH (Rubery dan Sheldrake, 1973) dan melalui arus massa (influx carrier) (Dalbarre et al.,1996).  Terdapat dua jalur konversi : oksidasi dan konjugasi.  IAA, dan IBA, mungkin dapat di non aktifkan secara irreversible melalui oksidasi sedangkan NAA tidak dioksidasi (Epstein dan Ludwig-Muller, 1993).  Kami menemukan bahwa pada irisan batang apel menunjukkan oksidasi terhadap IAA yang diaplikasikan meningkat secara nyata setelah diiris, yang dapat mencapai maksimal 16 jam (gambar 1).  Setelah itu, oksidasi menurun.  Arah dari oksidasi IAA mirip dengan enzim yang terlibat yang terlibat dalam reaksi pada pelukaan.  Hal tersebut menunjukkan bahwa oksidasi IAA disebabkan oleh peroksidase non spesifik yang berhubungan dengan reaksi pada luka.  Ketiga jenis auksin dikonjugasi.  Konjugasi adalah inaktivasi yang reversible dimana auksin bebas mungkin dilepaskan dari konjugasi (Smulder et al., 1990).  Oleh karena konjugasi dan oksidasi, hanya sebagian kecil (1% atau kurang) dari auksin yang diserap oleh jaringan tumbuhan terdapat dalam jumlah bebas (untuk studi tentang metabolism IAA selama proses rooting lihat Gambar 2, dan untuk studi metabolisme IBA , Van der Krieken., 1992).  Sebagian besar studi tentang metabolisme auksin dalam hubungannya dalam rooting telah dilakukan pada cutting yang dikenakan selama beberapa waktu pada auksin tertentu.  Dalam situasi yang lain, cutting telah dikenakan pada larutan auksin pada waktu singkat (Liu dan Reid, 1992; Diaz-Sala et al., 1996)
                Gambar.  1.  Oksidasi [1-14C] IAA selama 4-jam paparan yang diberikan pada waktu yang ditentukan.  Irisan batang apel setebal 1 mm dikulturkan pada medium yang mengandung 3 µM IAA.  Pada waktu yang diindikasikan, irisan batang tersebut ditransfer ke media baru dengan 3 µM IAA dan 5 kBq [1-14C] IAA.  14CO2 (yang terbentuk dalam oksidasi dari  [1-14C] IAA) yang ditangkap oleh 1 M KOH.  Nilainya merupakan rata-rata ± SE dengan 3 pengukuran masing-masing dengan 30 irisan
Gambar.2.  Metabolisme IAA pada tahap inisiasi akar pada irisan akar apel.  Setelah penyerapan IAA radioaktif, IAA dan metabolitnya diektraksi dari irisannya dan dipisahkan dengan metode TLC (Thin Layer Chromatography).  Setelah pencetakan plat TLC, radioaktivitas divisualisasikan melalui analisa phospor imaging.
Fase-fase dalam Rooting
                Seperti yang telah diketahui, setelah penemuan IAA dan aktivitas perangsangan akarnya (rhizogenik), “pada konsentrasi yang sesuai untuk perakaran, auksin menghambat pertumbuhan akar” (Thimann, 1936).  Pertumbuhan keluar dari primordia akar juga dihambat oleh auksin pada konsentrasi yang optimal untuk rooting (De Klerk et al., 1990).  Data berikut menunjukkan bahwa berbagai  fase pada rooting mungkin memiliki memiliki kebutuhan hormon yang berbeda atau kebutuhan hormone yang berlawanan.  Urutan fase-fase mungkin dapat dibedakan dalam berbagai cara (De Klerk, 1996).  Kami yakin bahwa karakter fisiologis, viz., analisis sensitivitas terhadap penambahan hormon (Smith dan Thorpe, 1975; Christianson dan Warnick, 1983; Croes dan Wullems, 1994), analisis histology dan penelitian molekuler menyediakan alat yang sesuai untuk membedakan fase-fase tersebut.  Akan tetapi saat ini data molekuler sangat kurang, dan penelitian fisiologis sangat jarang.
                Pada mikro cutting apel,  kami diyakinkan pada tiga tahap yang analog terhadap  fase yang dapat dibedakan pada organogenesis shoot dari eksplan daun Convulvulus (Christianson dan Warnick, 1983).  Kami menggunakan  sensitivitas terhadap aplikasi IBA, 6-benzyladenine (BA; sitokinin yang dapat dianggap sebagai antagonis auksin yang bertindak pada level DNA: Dominov et al., 1992), dan beberapa senyawa lain sebagai karakter dari fase-fase berkelanjutan (De klerk et al., 1995, 1998; De Klerk, 1995) dan yang berhubungan dengan observasi histologis (De Klerk et al., 1995; Jasik dan De Klerk, 1997).  Sensitivitas pada kejutan auksin dan sitokinin ditunjukkan pada Gambar. 3 dan skema pada proses rooting pada Gambar. 4.
                Selama fase 24 jam setelah mikro cutting diambil, mikro cutting belum sensitif terhadap auksin dan sitokinin.  Adalah diyakini bahwa selama periode ini, dedifferensiasi terjadi pada waktu dimana sel menjadi kompeten dan memiliki respons terhadap stimulus perangsangan pembentukan akar yaitu auksin.  Sel-sel darimana primordia akar berasal biasanya berada diantara jaringan pembuluh dan mengakumulasi pati semasa 24 jam awal.
                Kemudian, sampai pada 72 atau 96 jam setelah itu, beberapa sel tertentu yang sebelumnya diaktivasi  menjadi tertuju kepada pembentukan primordial akar melalui tindakan perangsangan akar oleh auksin pada fase induksi.  Selama periode ini, kejutan auksin menghasilkan jumlah akar paling banyak.  Selanjutnya, pada periode yang sama, kejutan dengan BA,  -(ҏ-chlorophenoxy)isobutyric acid (PCIB; sejenis anti auksin) dan asam salisilik (sejenis mono fenol yang meningkatkan oksidasi IAA) menghasilkan penghambatan paling tinggi.  Pada tingkat jaringan, dapat diamati bahwa butir pati yang ada pada 24 jam di degradasi selama 24 jam selanjutnya.  Pembelahan sel terjadi setelah 48 jam, dan  setelah 96 jam, meristemoid kira-kira 30 sel terjadi.
Gambar 3.  Efek dari kejutan 24 jam dengan (A) 2.5 µM IBA atau (B) 1 µM BA pada rooting shoot apel.  Pada eksperimen dengan kejutan IBA.  Rooting dihitung setelah  10, 14 dan 21 hari.  Pada ekperimen dengan kejutan BA, shoot dikulturkan pada   1 µM IBA kecuali untuk periode kejutan BA ketika mereka dikulturkan pada  1 µM IBA + 1 µM BA.  Rooting dihitung setelah 14 hari dan 21 hari.  Untuk setiap data, digunakan 30 shoot.  Data dari De Klerk et al.  (1995)
Gambar. 4.  Sebuah skema urutan-urutan fase pada rooting mikro shoot apel.  PCIB , ἀ-(ҏ-chlorophenoxy) isobutyric acid; SA, salicylic acid.
                Setelah 96 jam, auksin tidak lagi dibutuhkan, dan konsentrasi auksin yang sesuai untuk pembentukan akar meristemoid menjadi bersifat penghambat pada fase ini.  Lebih jauh, sensitivitas terhadap BA telah menurus secara drastis.  Meristemoid berkembang menjadi primordia akar dengan dengan bentuk kerucut dan setelah itu menjadi akar selama fase differensiasi.
                Beberapa peneliti lain juga telah melaporkan bahwa sensitivitas maksimal terhadap auksin terjadi tidak langsung setelah pengambilan cutting tetapi pada waktu selanjutnya (Mitsuhashi et al., 1969; Attfield dan Evans, 1991); Burrit dan Leung, 1996).  Periode sensitivitas untuk sitokinin bertepatan dengan interval dimana sitokinin endogen rendah (Bollmark et al., 1988).  Gambaran skema yang jelas berbeda disajikan pada Gambar. 4 yang merupakan identifikasi 2 langkah yang berbeda sebelum perkembangan pertumbuhan meristemoids, viz., dedifferensiasi dan induksi, dan identifikasi dari fase induksi selama periode dimana aktivitas rizogenik berlangsung.  Perbedaan ini telah dinyatakan oleh Went (1939); dia menemukan bahwa ketika IAA ditambahkan pada bibit kacang yang akarnya dibuang selama 44 jam, hal tersebut dapat digantikan dengan fenil asetic acid (PAA) selam 20 jam.  Ketika ditambahkan sendiri tanpa disusul inkubasi dengan IAA, PAA tidak sedikitpun dapat memunculkan akar.  Sehingga, kelihatan bahwa PAA efektif semasa  fase dedifferensiasi (sama seperti jenis auksin lain) dan setelah itu bersifat tidak aktif selama fase induksi.  Finstad et al.  (1993) menyatakan bahwa PAA menstimulasi  fase dediferensiasi pada somatic embryogenesis pada alfalfa akan tetapi PAA itu sendiri tidak dapat menginduksi pertumbuhan embrio.  Untuk hal tersebut, 2.4-D harus ditambahkan setelah dikulturkan dengan PAA.
                Eksperimen pada waktu fase rooting yang didiskusikan sebelumnya telah dilaksanakan dengan cutting atau eksplan yang dikulturkan pada auksin konsentrasi rendah pada periode waktu yang lama (pada mikro cutting apel 7 hari pada konsentrasi 1 uM IBA).  Kita mungkin bertanya-tanya apakah waktu yang dibutuhkan untuk tahapan-tahapan pada kondisi ini juga berlaku untuk cutting yang di beri paparan singkat dengan auksin konsentrasi tinggi.  Baru-baru ini,kami menemukan bahwa pencelupan   1 jam pada 300 µM IBA, fase sensitive ada pada interval yang sama yang juga berlaku pada perlakuan auksin konsentrasi rendah (Gambar. 5).  Hal ini mengindikasikan bahwa waktu bertindak (time of action) adalah sama, terlepas dari bagaimana cara aplikasinya.  Hal ini menunjukkan bahwa auksin yang di aplikasikan sebagai pencelupan singkat dapat bekerja karena selama beberapa hari auksin bebas tersedia.
                Aplikasi umum dan praktis dari skema tersebut dalam Gambar. 4 masih dalam perdebatan.  Adalah diketahui bahwa dalam batang beberapa species, asal (inisial) akar sudah tersedia (kacang hijau, poplar).  Sehingga, ketika cutting diambil pada species tersebut, mereka sudah berada dalam fase 3.  Adalah mungkin juga, bahwa di dalam batang beberapa species, sel-sel yang kompeten terhadap stimulus akar (Rhizogenic stimulus) telah tersedia, dan bahwa penambahan sel yang kompeten dibentuk selama fase dedifferensiasi.  Kami menemukan indikasi bahwa yang kemudian berlaku untuk mikro cutting apel.  Indirect Rooting, dimana inisial akar terbentuk setelah fase intermediat kallus pada sisi kalus (e.g., Zhou et al., 1992) merupakan contoh yang jelas tentang terjadinya 3 fase dengan perpanjangan periode dedifferensiasi.
                Perbedaan dalam kebutuhan auksin diantara tiga fase pembentukan akar adventif memiliki dua konsekuensi yang penting pada rooting cutting.  Pertama, satu konsentrasi auksin yang optimal untuk satu fase mungkin bersifat supra optimal atau sub optimal untuk fase selanjutnya.  Ide seperti ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa mikro cutting apel yang dikulturkan secara terus menerus dengan auksin (IAA, IBA, atau NAA) menunjukkan performa rooting yang paling bagus (sejumlah besar kar terbentuk dalam range konsentrasi auksin yang luas) ketika dikulturkan dengan IAA (De Klerk et al., 1997a; Gambar 6)
Gambar 5.  Efek kejutan (pulse) 24 jam dengan 1 uM BA pada rooting shoot apel.  Perlakuan rooting adalah 1 uM IBA selama 5 hari atau 300 uM selama 1 jam.  Ketika kejutan BA diberikan pada perlakuan 1 uM IBA, IBA juga ada pada 1 uM.  Ketika kejutan BA diberikan terhadap perlakuan 300 uM IBA, 300 uM IBA hanya ada pada permulaan jam dari 0-24 jam kejutan BA
Gambar 6.  Rooting dan pertumbuhan setelah penanaman shoot apel setelah dikulturkan selama 3 minggu dalam medium yang menggunakan IAA atau IBA.  Shoot dikulturkan selama 3 minggu pada konsentrasi IAA dan IBA yang diindikasikan.  Selama 5 hari pertama, kultur di simpan di tempat gelap dan setelah itu ke tempat terang.  Setelah 3 minggu, shoot ditransplanting ke tanah dalam ruangan bersuhu 18 oC dan di aklimatisasi; setelah 6 minggu, berat segar dari shoot + akar ditimbang.  Untuk masing-masing perlakuan konsentrasi  IAA dan IBA, 30 shoot digunakan.  Semuanya, 80-10-% shoot tersebut hidup setelah ditanam di tanah.  Untuk menghitung rata–rata beratnya, kami hanya menggunakan berat dari shoot yang hidup.
                Konsentrasi dari auksin yang tidak stabil ini dalam media telah menurun dengan drastis setelah 5 hari dalam kultur, terutama karena aksi dari auksin-oksidase (Guan et al., 1997).  Sehingga, pada awal-awal kultur, IAA terdapat dalam jumlah yang cukup tinggi untuk merangsang pembentukan akar, akan tetapi setelah itu, konsentrasi IAA telah turun pada tingkat yang sangat rendah yang mana pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan akar dan shoot dapat diabaikan.
                Auksin lain yang diuji, IBA dan NAA, adalah lebih stabil sehingga konsentrasinya bersifat supra optimal untuk perkembangan lebih lanjut dari perkembangan meristemoid akar pada fase akhir.  Sejalan dengan interpretasi ini IBA dan bukan IAA adalah auksin yang optimal untuk aplikasi kejutan 1 jam (data tidak ditunjukkan): karena ketidakstabilannya, Konsentrasi IAA menurun dengan cepat dibawah tingkat yang optimal untuk induksi akar.  Kedua, perbedaan dalam sensitivitas auksin antara fase-fase yang berlanjutan dapat berimplikasi bahwa kejutan auksin segera sesudah cutting diambil dari stool plant mungkin kurang efektif disbanding perlakuan sesudahnya yang agak lama.  Untuk beberapa jenis tanaman seperti krisan (Chrysanthemum), adalah diketahui bahwa auksin menstimulasi pembentukan akar paling baik ketika dilaksanakan beberapa waktu setelah cutting diambil.
SENYAWA YANG BERHUBUNGAN DENGAN LUKA (WOUNDING RELATED COMPOUND)
                Ketika cutting diambil, cutting tersebut dipotong dari pohon induk (mother plant).  Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa luka dan meskipun akar juga kadang-kadang bias diinduksi pada batang yang utuh (intact), luka pada umumnya dibutuhkan untuk mendapatkan rooting.  Pelukaan jaringan tumbuhan menghasilkan kerusakan dari kompartemen sel (vakuola, vesikel, periksom, dan plastid) yang mengarah kepada sintesis dan/atau pelepasan enzim katabolisme (glukonase, peroksidase, phospolipase, lipoxygenase) yang ada dalam organel sel.  Enzim tersebut mendegradasi dinding sel dan membran sel.  Produk hasil pecahan dari struktur sel tersebut disebut senyawa yang berhubungan dengan luka (WRC: wounding related compound).    Senyawa tersebut diketahui terlibat dalam system proses pertahanan tumbuhan dan bersifat elicitor (untuk review lihat Lyon et al., 1995).
Gambar 7.  Pengaruh beberapa WRC terhadap pengaruh IBA pada inisiasi akar irisan batang.  Sebanyak 20 kelompok irisan batang apel dikulturkan secara triplicate selama 1 hari dalam medium yang mengandung 3.2 µM IBA dan konsentrasi yang meningkat dari WRC.  Irisan tersebut kemudian di transfer ke media bebas hormone.  Semua SE kurang dari 9% dari semua rata-rata.
                Kami menemukan bahwa WRC dan senyawa yang berhubungan dengannya memainkan peran yang penting dalam rooting (Van der Krieken et al., 1997).  Sendiri, senyawa tersebut tidak dapat menginduksi perakaran dalam irisan batang apel (hasil tidak ditunjukkan), akan tetapi mereka memacu pertumbuhan akar ketika diaplikasikan bersama dengan  kosentrasi IBA yang sub optimal (Gambar . 7).  Rooting dipacu dengan pemecahan produk yang berasal dari  membran sel (elicitor yang aktif secara lokal), jasmonic acid ( wounding/stress induced plant hormone), enzim yang mendegradasi struktur sel (selulosa, pektinase), phytoalexin (digitoxin), dan pythium atau ekstrak ragi ( secara umum dianggap sebagai pengindungsi system pertahanan tumbuhan yang kuat).  Pembentukan etilen dipicu oleh luka (Meyer et al., 1984).  Pengaruh hormon dipelajari secara lebih detil dan hasilnya dibahas dalam bagian berikutnya.
Gambar. 8.  Pengaruh nonanoic acid terhadap pengambilan dan metabolism IBA. Sebanyak 20 irisan batang diinkubasikan secara triplicate selama 24 jam pada media nonanoic atau media tanpa elicitor.  Kemudian ditransfer selama 2 jam ke media dengan  14 C-IBA dan setelahnya ke media 10 µM IBA tanpa label.  Setelah bebrapa periode, IBA dan metabolitnya diektraksi dan dianalisa dengan TLC.  IAA diperoleh dari konversi IBA.  Semua SE lebih kecil dari 8% dari seluruh rataan.  Garis tegas, adalah control tanpa nonanoin acid, garis titik-titik, dengan nonanoic acid.
                Kami juga mempelajari mode of action dari WRC.  Kemungkinan WRC meningkatkan pengambilan auksin, atau mengurangi konjugasi atau oksidasi dari auksin yang diaplikasikan.  Adalah diketahui bahwa, WRC tidak mempengaruhi pengambilan dan metabolisme 14 C-IBA (Gambar. 8).   Kami juga mempelajari pengaruh WRC terhadap sintesis dari IAA endogen.  Setelah inkubasi irisan apel selama I hari dalam medium dengan WRC, tingkat IAA endogen ditentukan dengan kromatografi gas-analisis spektrometri.  Tidak terdapat pengaruh terhadap tingkat IAA endogen yang diamati (data tidak ditunjukkan).  Penjelasan lain terhadap aksi dari WRC adalah mereka memacu kompetensi dari jaringan untuk merespon terhadap hormone tumbuhan.  Penjelasan ini sepertinya dapat diterima, karena kami juga mengamati bahwa, applikasi berlanjut dari WRC dan auksin menghasilkan respon akar yang lebih tinggi daripada aplikasi yang simultan (data tidak ditunjukkan).  Sehingga, disarankan bahwa WRC memainkan peran yang utama dalam fase dedifferensiasi.
                Luka juga menginduksi stress.  Oleh karena itu senyawa yang berhubungan dengan stress diuji, viz., elicitor sistemik (aplikasi lokal dari elicitor ini memicu reaksi pertahanan dalam seluruh tumbuhan; mis; salicylic acid), metabolit sekunder (berhubungan pada stress, mis; shikimate, coumaric acid), radikal bebas (stress oksidatif dapat diinduksi dengan mis, paraquat), scavengers (pengurangan stress; vitamin C, vitamin E, senyawa fenol), dan brassinosteroids (mereka terlibat dalam pertumbuhan dan juga terlibat dalam respon stress).  Dengan pengecualian beberapa senyawa fenol, semuanya tidak memiliki efek penghambatan terhadap perakaran irisan batang apel.
                Senyawa fenol telah berulang kali dinyatakan terlibat dalam pertumbuhan tumbuhan, tetapi belum terbukti melalui eksperimen (Milborrow, 1984).  Beberapa peneliti telah mengamati apakah senyawa fenolis endogen berhubungan dengan kemampuan  perakaran.  Korelasi demikian telah ditemukan (Ueda, 1989; Curir et al., 1990).  Juga telah sering dilaporkan bahwa aplikasi senyawa fenol memacu perakaran; akan tetapi; kebanyakan studi tersebut kurang komprehensif.  Sebagai contoh, biasanya Cuma satu konsentrasi dari senyawa yang diuji coba (e.g., James dan Thurbon, 1981; Kling dan Meyer, 1983).
                Kami mempelajari pengaruh dari beberapa senyawa fenolik terhadap rooting irisan batang apel pada konsentrasi yang lebar.  Dalam eksperimen kami, ferulik acid (FA) merupakan senyawa fenolic yang paling aktif yang telah diuji.  Senyawa tersebut memacu rooting dengan kehadiran IAA dan hanya sedikit mempengaruhi dalam kondisi NAA ada (Gambar.  9).  Hal ini menunjukkan bahwa  FA mungkin dapat berfungsi sebagai penghambat oksidasi (IAA dapat dioksidasi tetapi NAA tidak).  Sesungguhnya, FA secara keseluruhan melindungi IAA dari oksidasi.  Hal ini perlu dicatat bahwa FA melindungi oksidasi IAA dalam keadaan adanya jaringan tumbuhan dalam keadaan gelap, dan juga foto oksidasi pada kondisi tanpa jaringan tumbuhan (data tidak ditunjukkan).  Oleh karena itu FA bertindak sebagai anti oksidan yang kuat.  Akan tetapi, aksi dari FA tidak hanya sebagai pelindung auksin dari oksidasi.  Jika demikian, FA seharusnya menggeser kurva dosis-respon IAA ke kiri, tetapi tetap mempertahankan bentuk dari kurva tidak berubah.  Kami menemukan, bahwa dengan senyawa fenol yang lain (e.g., phloroglucinol; Gambar. 10) FA memperlebar kurva respond dan dosis.
Gambar.  9.  Pengaruh ferulic acid terhadap perakaran irisan batang apel.  Dalam medium, konsentrasi sub optimal dari IAA atau NAA dan peningkatan konsentrasi IAA dan NAA dan peningkatan konsentrasi ferulic acid.  Perlu dicatat bahwa IAA dapat dioksidasikan tetapi NAA tidak.  Setelah 120 jam dikulturkan dalam gelap pada media dengan auksin dan ferulic acid, irisan tersebut dipindahkan ke  tempat terang dan media tanpa hormon.
                Phloroglucinol bahkan memacu perakaran pada konsentrasi auksin supra optimal (pada 100 µM IAA; lihat Gambar 10).  Lebih jauh, phloroglucinol dan FA tidak beraksi pada Hari 2-4 tetapi lebih awal, pada hari 1-2 (data tidak ditunjukkan).  Kami mengemukakan bahwa senyawa fenolik bertindak sebagai anti oksidan, dengan demikian melindungi IAA dari  oksidasi dan terhadap stress oksidataif pada jaringan  tumbuhan yang diakibatkan oleh luka.
Gambar. 10.  Pengaruh dari 300 µM phloroglucinol (PG) terhadap rooting irisan batang apel pada konsentrasi IAA yang meningkat.  Catatan bahwa PG juga merangsang akar pada konsentrasi IAA yang suboptimal.  Setelah 120 jam dikulturkan dalam gelap, irisan tersebut dipindahkan ke tempat terang dan pada media tanpa hormon.

SIKLUS SEL DAN KOMPETENSI JARINGAN
                Lipo-chito-oligosakarida (LC); molekul signal dari bakteri Rhyzobium yang terlibat dalam pembentukan nodul pada legume/kacangan) menginduksi pembelahan sel  pada korteks akar dari legume (Quinto et al., 1997).  Dari sel-el ini, nodul primordial terbentuk.  Kami mengaplikasikan LCO pada irisan batang apel bersamaan dengan konsentrasi auksin supra oprimal dan menemukan perangsangan pembentukan akar (Gambar. 7).  Aplikasi LCO sendiri tidak menghasilkan regenerasi organ.  Kami membuat hipotesa yang bersifat analog dengan mode of action dari LCO pada legume, WRC menginduksi pembelahan sel.  Sehingga, jika diaplikasikan, WRC dapat memulai siklus sel pada sel yang tadinya tidak mau membelah.  WRC mungkin bisa menjadi alat untuk mengatasi rekalsitrans.  Hipotesa ini dapat diuji dengan mempelajar I pengaruh dari WRC terhadap ekspressi gen dari siklus sel.
                Siklus sel terdiri dari 4 fase yang berbeda (Howard dan Pelc, 1953).  Segera setelah sel membelah, sel masuk melalui G1, fase gap pertama.  Lebih lanjut setelah fase ini, empat kemungkinan yang dapat terjadi membelah, rehat, differensiasi, atau senescence.  Ketika sebuah sel terus membelah, sel tersebut memasuki fase S yang mana DNA di gandakan dan jumlah total kandungan DNA meningkat dari 2n menjadi 4n.  Fase S diikuti dengan periode G2, yang berakhir sampai sel siap untuk mitosis: Fase M.  Setelah mitosis, sel kembali masuk ke fase G1.  Jalur yang diikuti oleh sel dijaga pada cek point tertentu oleh cyclin-dependent protein kinase (CDK) (untuk review lihat Jacobs, 1995).  CDK dalam tumbuhan adalah cdc2 yang terlibat dalam transisi G1-S dan G2-M (Hemerly et al., 1993) dan telah diidentifikasikan pada semua species tumbuhan, mis., jagung, alfalfa, dan Arabidopsis.  Produk dari gen cdc2 adalah protein dengan subunit katalis p34 cdc2 yang menjadi aktif setelah tingkat translasi melalui fosforilasi dan dengan asosiasi dengan cyclin tertentu.  Regulasi terhadap tingkat  protein cyclins menghasilkan  penyesuaian pada transisi melalui siklus sel.
                Selama perkembangan tumbuhan Arabidopsis, ditemukan bahwa ekspressi cdc2 tidak selalu diikuti oleh proliferasi sel, akan tetapi selalu didahului oleh itu (Hemerly et al., 1993).  Cahaya, luka dan hormon (auksin dan sitokinin) menginduksi ekspressi cdc2 sehingga menginduksi kompetensi untuk membelah.  Fakta bahwa luka menginduksi kompetensi untuk pembelahan sel diketahui dari kultur jaringan: proliferasi sel terjadi terutama di daerah jaringan yang luka.  Apakah pembelahan sel tersebut mengarah pada pembentukan akar atau apakah faktor lain dibutuhkan auksin untuk mengarahkan sel yang membelah untuk membentuk akar masih belum diketahui.  Perlu diketahui bahwa ketika BA ditambahkan dengan IBA, sel yang sama, yang menjadi target, membelah, tetapi bukannya menjadi akar, tetapi menjadi kalus (De Klerk et al., 1995).  Sehingga, kemungkinan bahwa auksin mengarahkan sel untuk membentuk akar menjadi lebih mungkin.
                Mitosis cyclin cyc1at yang mengatur transisi G2-M dari siklus sel.  Pada Arabidopsis, cyc1at memacu pengorganisasian meristem.  Induksi IAA pada melalui gen cyc1at dengan sdc2 promotor (kedua cyclin dependen dan cyclindiekpressikan pada waktu yang sama) menghasilkan peningkatan yang besar dalam jumlah akar lateral (Doerner et al., 1996).  Hal ini mungkin mengindikasikan bahwa cyclin dan auksin adalah regulator yang penting dalam pembentukan akar lateral.  Apakah cyc1at juga terlibat dalam pembentukan akar adventif tidak diketahui.

FAKTOR NON AUKSIN YANG LAIN
                Banyak senyawa, termasuk banyak tipe zat pengatur tumbuh, telah dipelajari pengaruhnya terhadap rooting.  Inhibitor sintesis gibberalin, abscisic acid, jasmonate, polyamines, brassinosteroid dan bahkan kadang-kadang sitokinin juga dilaporkan meningkatkan jumlah akar adventif secara signifikan (Haissig dan Davis, 1994).  Kebanyakan hasil yang didapatkan belum terlalu dapat dimengerti dan membutuhkan lebih banyak pengujian.  Dalm review ini, kita akan membahas ethylene, karena hormone dalam bentuk gas ini telah dipelajari dengan ekstensif dan experiment terbaru mengindikasikan mode of action yang mungkin.
                Stimulasi rooting oleh etilen pertama sekali dilaporkan tahun 1930 (Zimmerman et al., 1933).  Selanjutnya, banyak peneliti telah melaporkan sifat promotoris dari etilen.  Akan tetapi, etilen juga sering dilaporkan tidak memiliki efek atau bahkan bersifat menghambat terhadap perakaran, dan peranannya dalam perakaran masih diperdebatkan (Mudge, 1988).  Variasi pada hasil dimungkinkan oleh perbedaan genotip yang dipelajari.  Sebagai tambahan, berbagai kondisi khusus dari etilen juga harus dipertimbangkan dalam mendesign eksperimen dan juga menginterpretasi hasil.
         i.            Sering, etilen secara actual tidak diaplikasikan tetapi precursor 1-aminocyclopropane-1-karboksilik acid (ACC) atau ethepon (ethrel, 2-chlorethylphophonic acid) yang disupply ke jaringan tumbuhan.  Ketika diserap, kedua senyawa tersebut melepaskan ethylene dalam jaringan (Meyer et al., 1984).  Ethepon bersifat stabil pada pH 4 atau kurang, tetapi pada pH yang lebih tinggi terurai dan menghasilkan etilen.  Sehingga, ketika ethrel berdifusi ke dalam sel, ethrel melepaskan ethylene ke dalam sitoplasma (pH dari sitoplasma kira-kira 7).  Ethrel juga mungkin terurai dan melepaskan ethylene di luar jaringan tumbuhan.  Konversi ACC menjadi ethylene oleh ACC-oksidase adalah langkah terakhir dalam jalur biosintesis etilen.  Oleh karena itu, penambahan ACC kedalam media kultur jaringan adalah cara yang mudah untuk meningkatkan tingkat etilen dalam jaringan tumbuhan.
       ii.            Etilene adalah hormone dalam bentuk gas.  Hal ini memiliki beberapa implikasi.  Ketika tumbuhan dapat mengurangi konsentrasi hormone endogen hanya dengan konversi enzim (oksidasi atau konjugasi), etilen hanya dapat terdifusi keluar jaringan ke atmosfer.  Oleh karena laju diffuse etilen dalam air kira-kira 10 000 kali lebih rendah lajunya dibandingkan di udara (Jackson, 1985), ethylene tidaklah efisien di luar jaringan yang terendam.  Karena konversi etilene (utamanya oksidasi) adalah lambat, dalam jaringan yang terendam etilen dapat berakumulasi.  Sehingga, ketika mikro cutting  ditanam dengan bagian basal tenggelam dalam larutan cair atau agar, etilene dapat terakumulasi dalam zona perakaran.  Berapa banyak etilen yang dapat terakumulasi tergantung pada aerasi dari larutan (lihat poin iii berikut), tentang sejauh mana batang tenggelam, dan tentang transport etilen dalam tumbuhan.
      iii.            Oleh karena kondisi yang terendam, kondisi anaerob dapat terjadi yang mencegah pembentukan etilen dari ACC (cf. Jackson, 1985)
     iv.            Pengetahuan tentang tranpor jarak jauh dari etilen dalam tumbuhan adalah jarang, sehingga ketika etilen tidak diaplikasikan secara langsung ke bagian pangkal batang tetapi melalui daun, tidak dapat diketahui berapa banyak etilen yang sampai sel darimana akar terbentuk.  Jelasnya, transport akan lebih mudah dalam jaringan dengan ruang interseluler yang berisi gas.
       v.            Sintesis endogen etilen dipacu oleh auksin dan luka.  Sebagai tambahan, banyak faktor lain yang  mungkin meningkatkan  sintesis etilen, e.g., orientasi dari cutting (De Witt et al., 1990).
     vi.            Efek sekunder dari aplikasi senyawa harus dipertimbangkan.  Misalnya, etilen mungkin mempunyai efek yang meyebabkan penuaan shoot atau mungkin terlibat dalam pembentukan etilen karena perak (Ag) adalah logam berat dan merusak jaringan.

Kelemahan-kelemahan ini yang mungkin menghasilkan hasil yang bertentangan tentang pengaruh etilen dalam rooting.  Dalam mikro cutting apel, kami mengamati pengaruh posisi  rooting zone dibawah permukaan media (De Klerk et al., in press).  STS memiliki pengaruh positif pada shoot yang diletakkan pada medium.  Kami beranggapan bahwa pada bagian batang yang terletak dibawah permukaan media, etilen mencapai tingkat penghambatan yang tinggi karena etilen  tidak dapat keluar dari jaringan.  Pada irisan yang dikulturkan pada permukaan atas media, STS tidak memiliki pengaruh.  Hal ini mengindikasikan bahwa etilen berdifusi secara cepat dari irisan tersebut kepada ruang udara diatas media di dalam petridish.  ACC mempromosikan rooting pada irisan tapi bersifat menghambat pada rooting mikro cutting (Gambar. 11).  Hal ini mengindikasikan bahwa dlam irisan etilen bahkan ada dalam konsentrasi sub optimal, dan terbatas
Gambar.  11.  Pengaruh ACC terhadap rooting shoot dan irisan abating dari apel.  Shoot dan irisan batang dikulturkan selama 5 hari dalam gelap dengan 3 µM IBA dan konsentrasi ACC yang diindikasikan.  Setelah itu, kultur dipindahkan ke tempat terang pada media tanpa hormone.  Untuk setiap perlakuan, 30 shoot atau 90 iris digunakan.  Sebuah perbedaan yang besar antara kondisi kultur dari shoot dan irisan batang adalah irisan batang dikulturkan diatas permukaan media, sementara bagian bawah dari shoot (tempat akar berasal) terdapat dibawah permukaan media.
                Pada mikro cutting apel, kami juga mengamati pengaruh etilen selama fase-fase berurutan dalam proses rooting.  Kami member kejutan 24 jam dengan atau tanpa STS atau ACC. Dan menemukan bahwa etilen bersifat promotif hanya setelah pengambilan cutting selama proses dedifferensiasi dan penghambat semasa fase induksi (De Klerk et al., in press).  Literatur menunjukkan bahwa ada dua interaksi ganda antara auksin dan etilen.   Pertama, auksin menstimulasi sisntesis auksin (Meyer et al., 1984).  Kedua, etilen mungkin memacu sensitivitas terhadap auksin (Liu dan Reid, 1992b,; Visser et al., 1996).  Oleh karena interaksi ini, konsentrasi auksin menentukan apakah kejutan ACC dan STS menghasilkan efek: stimulasi selama fase dedifferensiasi terjadi hanya pada  konsentrasi auksin sub optimal dan penghambatan semasa fase induksi  hanya pada kondisi auksin supra optimal.  Hasil yang serupa diperoleh pada bibit kacang hijau yang dibuang karnya (Gambar. 12)
Gambar. 12.  Pengaruh kejutan 24 jam dengan 100 µM STS terhadap rooting bibit kacang hijau yang dibuang akarnya.  Pada A, konsentrasi NAA 30 uM (konsentrasi optimal) dan B, 100 uM (konsentrasi supra optimal).  Sampai pada 12 jam, bibit yang telah dihilangkan akarnya dikulturkan pada media semisolid dalam kondisi gelap.  Setelah itu, bibit tersebut dipindahkan ke kondisi terang dan media semi solid tanpa auksin.  Jumlah akar dihitung setelah 12 hari.  Untuk setiap perlakuan digunakan 30 shoot

ROOTING DAN PERFORMANCE SETELAH PENANAMAN
                Pengaruh perlakuan rooting terhadap pertumbuhan cutting setelah tanam telah diteliti pada tingkat praktis dengan metode trial dan error, meskipun dapat dipelajari dengan cara yang lebih canggih.  Kami telah mengamati apakah periode pemaparan pada shoot apel terhadap auksin mempengaruhi pertumbuhan setelah tanam.  Seperti disebutkan sebelumnya, auksin dibutuhkan untuk menginduksi akar akan tetapi menghambat pertumbuhan primordia akar (De Klerk et al., 1990), pertumbuhan akar (Thimann, 1936), dan pertumbuhan cutting (Vietez et al., 1989).  Ketika (mikro) cutting menerima perlakuan auksin singkat dan ditanam tanpa akar dalam tanah, penurunan pertumbuhan shoot yang singkat sangat menguntungkan karena penambahan pertumbuhan shoot tidak diinginkan ketika cutting belum memiliki akar.  Akan tetapi, efek buruk dari auksin dapat menjadi dominan, yang menghasilkan rendahnya system perakaran dan rendahnya kualitas shoot.  Ketika mikro cutting diakarkan secara in vitro, penurunan pertumbuhan setelah tanam tidak menguntungkan, dan efek penghambatan auksin terhadap pertumbuhan dapat dicegah.  Hal ini dapat dicapai dengan aplikasi hanya pada periode inisiasi (fase dedifferensiasi dan induksi).  Akan tetapi, pemindahan shoot kepada media tanpa auksin tidak diinginkan karena biaya yang mahal.  Gorst et al. (1983) menggunakan riboflavin untuk merusak auksin pada cahaya setelah periode inisiasi di tempat gelap.  Akan tetapi, oleh karena sensitivitasnya yang ekstrim terhadap cahaya, riboflavin sangat sulit diaplikasikan pada tahapan praktis dalam produksi komersial.
                Pada mikro cutting apel, kami menemukan bahwa in vitro rooting dengan auksin yang stabil NAA dan IBA memiliki dampak yang buruk terhadap cutting dan pertumbuhannya (Gambar. 5).  Penyebabnya adalah sebagian besar dari IAA yang ada telah dihilangkan secara photo chemical dan secara enzimatis setelah beberapa hari.  Sehingga, konsentrasi IAA yang tinggi hanya ada pada saat yang sesuai, viz., ketika meristemoid akar sedang dibentuk.  Secara kontras, IBA lebih disukai ketika auksin ditambahkan untuk periode yang singkat.  Ketika IAA yang digunakan, senyawanya terdegradasi dengan cepat dalam jaringan.  Untuk mencapai jumlah akar yang cukup, kita harus menambahkan IAA dalam jumlah yang sangat tinggi.  Pada konsentrasi ini, walaupun IAA kelihatan bersifat toksik terhadap shoot (pucuk dan daun).  Pada sisi lain, pada auksisn IBA yang stabil, tingkat IBA yang lebih rendah dibutuhkan, dan cutting yang diperlakukan dengan IBA menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik  diabndingkan dengan IAA (data tidak ditampilkan).
                Pertumbuhan cutting yang diberi perlakuan auksin dengan konsentrasi yang tinggi, pada kasus munculnya penuaan daun, menunjukkan bahwa efek kurang baik dari auksin disebabkan oleh meningkatnya sintesis etilen.  Akan tetapi ketika STS ditambahkan bersamaan dengan auksin, pertumbuhan planlet setelah transplanting sangat baik pertumbuhannya (Gambar. 13).
               
Gambar 13.  Shoot yang telah di rooting selama 5 hari dengan 10 µM NAA atau 10 µM NAA + 10 µM silver thiosulfate (STS).  Gambar diambil 3 minggu setelah dimulai perlakuan rooting




Kesimpulan Umum

                Dari sudut pandang ekonomi, rooting adalah fenomena yang penting dalam hortikultur, pertanian dan kehutanan.  Dari sudut pandang ilmiah, rooting adalah jalur pertumbuhan dan perkembangan yang menarik.  Rooting merupakan satu diantara tiga jalur utama regenerasi (yang lain adalah pertumbuhan tunas (shoot) adventif dan embryogenesis somatic).  Pada ketiganya, sell mengalami differensiasi yang terbalik dan menjadi meristematik kembali.
                Terlepas dari kemajuan yang nyata dalam pemahaman tentang rooting, pengetahuan kita masih sepotong sepotong dan bersifat kondisional.  Penelitian di bidang biologi molekuler dibutuhkan untuk mengklarifikasi lebih jauh mekanisme rooting dan untuk mengembangkan perlakuan rooting yang baru.  Sama seperti studi pada biokimia, sama seperti pada penelitian molekuler yang sulit dilakukan karena hanya beberapa sel dalam sebuah eksplan yang secara langsung terlibat dalam regenerasi (De Klerk, 1996) yang kemudian karakter spesifik dari sel-sel ini tertutupi oleh sel-sel lain.  Ketika karakter spesifik dari sel-sel tersebut telah ditemukan pada sebuah eksplan dari mana organ tersebut berasal, sel tersebut harus di validasi dengan studi mikroskopi untuk memastikan apakah karakter tersebut terjadi secara spesifik pada sel dalam peristiwa regenerasi.
                Pada tingkat molekuler, beberapa pendekatan mungkin dapat digunakan.  Pertama gen yang spesifik untuk fase awal rooting diisolasi di beberapa laboratorium.  Salah satu gen tersebut adalah LRP1 (Smith dan Fodoroff, 1995).  Gen mungkin dapat diisolasi dengan teknik screening molekuler atau isolasi dengan mutan rooting yang diikuti oleh karakterisasi dari gen mutan.  Kedua, ekspresi gen dan promotornya yang diperoleh dari studi lain, e.g., siklus sel dengan gen yang berhubungan atau gen yang diinduksi oleh auksin yang mungkin dapat dipelajari.  Ketiga, rooting mungkin dapat dipelajari dalam tumbuhan dengan genetik yang diubah.  Hal ini mungkin mutan hormone, mutan akar lateral (Hacket et al., 1997) atau tumbuhan transgenic dengan, misalnya Rol-gen atau gen dengan kemampuan biosintetis hormone.  Studi-studi ini tidak diragukan lagi akan dapat mengindikasikan bermacam fungsi hormone dan faktor lain yang  mempengaruhu proses rooting.  Studi ini juga diperlukan untuk mengungkapkan mengapa jaringan rekalsitran dihentikan.
                Langkah maju kedepan  dalam studi rooting pada level fisiologis adalah rooting dianggap sebagai proses pengembangan yang terdiri dari beberapa langkah-langkah yang berbeda.  WRC sepertinya memainkan peran pada proses awal, yaitu fase dedifferensiasi.  Senyawanya mungkin memainkan bekerja sama dengan hormone tumbuhan auksin dan sitokinin.